Diary Untuk Ayah
“Ilham!!! “Panggil ayah.” Iya ayah!” Sahut Ilham sambil berlari lari kecil mendekati ayah. “Apa lagi yang kamu lakukan dengan laptop ayah, ayah sudah membelikan kamu buku tulis untuk menulis, bukannya mencoret-coret laptop ayah dengan spidolmu itu” Jawab ayah dengan nada tinggi sambil menunjuk layar laptopnya yang penuh dengan coretan spidol Ilham. Aku yang sedang asyik mendengarkan lagu beranjak dari tempat dudukku menuju ruang kerja ayah. Ilham hanya bisa tertunduk mendengar ocehan dari ayah. Tampak dari raut wajahnya, ia ketakutan dan matanya berkaca-kaca. “Apa tidak ada kata lain yang bisa kamu tulis, selain tulisan ‘BISA’, apa kamu tidak pernah diajarkan oleh gurumu untuk menulis kata-kata lain. BISA, BISA!! Hanya itu saja kemampuanmu selama ini.” Adikku hanya diam terpaku disudut ruang kerja ayah. Sesekali menatapku yang berdiri didepan pintu. Yah, memang itulah tingkah laku adikku yang selalu membuat ayah kesal. Ilham selalu saja mencoret-coret barang milik ayah, laptop, buku kerja, baju, meja kerja, bahkan tembok kamarpun dicoret. Dan anehnya lagi, Ilham selalu menulis satu kata yang sudah tidak asing lagi bagiku yaitu ‘BISA’. Entah apa yang ada didalam pikirannya. Akupun sempat berpikir, apakah hanya itu yang dapat ia tulis selama ia bersekolah? Padahal sekarang adikku telah duduk dibangku kelas 3 SD. Atau mungkin adikku ini kurang cerdas, sehingga kemampuannya tidak seperti teman-teman lainnya yang sudah bisa menulis lebih baik dari adikku itu. Aku juga pernah dibuat kesal olehnya, karna dia mencoret-coret buku pelajaranku.
“Sekali lagi kamu melakukan hal ini, ayah akan mengambil spidolmu, paham!” Bentak ayah. Ilham hanya menggaguk pelan, tak berani menatap wajah ayah yang sudah naik darah. Ilham melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja ayah. Aku menatap wajahnya yang masih polos itu. Dia menangis tersedu-sedu menuju kamarnya. Aku iba melihat adikku yang masih berumur 8 tahun itu, pasti sekarang dia merasa sedih dan ketakutan gara-gara ayah. Tapi, ya sudahlah, tak lama lagi dia pasti keluar dan bermain bersama teman-temannya.
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagiku. Bagaimana tidak, disekolah ada tambahan pelajaran, karna sebentar lagi aku akan menghadapi ujian akhir sekolah. Aku sekarang duduk dikelas 3 SMA. Kesibukan dan tugas-tugas dari sekolah membuat aku merasa sangat lelah. Aku membaringkan tubuhku, sambil meluruskan otot-ototku yang tegang. Sunyi, tak ada suara apapun dirumah ini, kemana semua orang-orang. Tanyaku didalam hati. Apakah ayah masih dikantor? Akhir-akhir ini ayah sangat sibuk megurusi bisnisnya itu. Kadang-kadang ia juga tak pernah pulang kerumah seharian. Apalagi saat ini pembantuku sedang sibuk mengurusi keluarganya dikampung, anak bungsunya sakit parah. Mbok Sartih meminta cuti selama 3 bulan. Hasilnya aku kerepotan mengurusi Ilham seorang diri dan mengurus pekerjaan rumah. Seandainya saja ibu masih ada, pastinya aku tidak akan melakukan semuanya seorang diri. Ibu akan membantuku mengurus Ilham. Dan rumah ini tidak akan sepi seperti ini. Aku rindu omelan ibu saat aku dan Ilham berkelakuan nakal. Aku rindu dengan belaian ibu saat aku lelah dan disaat aku sakit. Ahh…tak sadar air mataku mengalir mengingatnya. Apa-apaan aku ini, pasti disana ibu sudah tenang dan bahagia, dan aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Aku yakin Tuhan tidak akan mengambil sesuatupun dari makhluknya, kecuali Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Kataku didalam hati sambil menghapus air mata yang sudah tak dapat dibendung lagi. Aku beranjak dari tempat tidur menuju ruang tengah. “Kemana Ilham? Tumben sekali dia tidak bermain PS. Atau jangan-jangan dia pergi bermain bersama teman-temanya.” Tanyaku. Aku menuju kamar Ilham. Terlihat adikku sedang asyik menulis. Entah apa yang sedang ia tulis. “Hmhm…rajin banget belajarnya dek.” Aku menghampirinya yang sedang duduk dimeja belajar. “ Coba kak Fauza lihat, memangnya Ilham lagi nulis apaan sih?” tanyaku sambil berusaha mengambil buku kecil yang dipegang Ilham. “ Nggak boleh!!” Ilham merampas buku kecilnya itu. “ Kak Fauza nggak boleh lihat, ini rahasia.” Aku hanya tersenyum kecil melihat kelakuan adik kecilku itu. “ Aduh..aduh..kecil-kecil udah main rahasia-rahasian ya?” Godaku sambil mencubit kecil pipi adikku itu. Adikku meringis kecil sambil mengelus-elus pipinya. “Ya udah deh kalau nggak boleh dilihat. Ayah dimana dek?” tanyaku. “Tadi ayah balik lagi kekantornya, katanya masih ada urusan dan nanti malam baru pulang.” “Oh…begitu ya. Tapi Ilham udah makan kan? Kalau belum biar kakak masakin masakan kesukaanya.” Tawarku “OK kak!” Ilham mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Keesokan harinya. “ Apa lagi yang kamu lakukan Iham!” Aku tersadar dari tidurku. Teriakan ayah membuat aku tersadar dari mimpiku. Aku menuju ke bagasi mobil. Terlihat disana Ilham berdiri terpaku, menerima semua omelan ayah. Apa lagi yang dilakukan oleh adikku. Aku melihat mobil ayah, astaga…Ilham …dia mencoret kaca mobil ayah dengan lipstik merah, dengan tulisan khasnya ‘BISA’. “Maafkan Ilham yah.” Adikku menangis tersedu-sedu. “Hari ini ayah ada meeting dengan klien, tidak mungkin ayah mencuci lagi mobil ini, ayah sudah dikejar waktu Ilham. Kenapa kamu tidak pernah mau mendengar perkataan ayah, hah!!” Kali ini ayah benar-benar marah, terlihat dari mukanya yang memerah. Dan nada suaranya yang tinggi. Aku bisa merasakan kemarahan ayah. Tiba-tiba ayah nenuju sudut bagasi dan mengambil sebuah kayu yang lumayan panjang. Apa yang akan ayah lakukan dengan kayu tersebut. Apakah dia akan memukul Ilham. Ayah menghampiri Ilham yang masih berdiri terpaku. Dan….astaga, aku tak menyangka ayah melakukannya. Ayah benar-benar memukul adikku. Aku tak menyangka ayah akan setega itu, memukul anaknya sendiri. Spontan aku berteriak “Ayah!!” Kali ini aku benar-benar kesal dengan kelakuannya. “Apa-apaan ayah ini, tega sekali ayah memukul anaknya sendiri. Ilham masih kecil yah, dia belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Kenapa ayah setega ini!” Aku menangis, aku tak tega melihat adikku diperlakukan seperti itu, ditambah lagi teriakan Ilham yang menahan sakit dikakinya. Ilham menangis sekuat-kuatnya. Aku memeluk adikku, terasa tubuhnya bergetar hebat, dia shock akibat pukulan dari ayah. “Ahh…ayah sudah tidak tahan dengan sikapnya itu. Kalian harus mengerti ayah sibuk. Jangan membuat ayah tambah stress dengak kelakuan kalian itu.” Ayah pergi meninggalkan kami berdua. Aku memandang kepergian ayah, dan akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku benar-benar merasa kecewa, aku benar-benar tidak bisa memaafkan kelakuan ayah. Ilham masih menangis dipelukanku, sesekali dia menjerit “kakak..kaki Ilham sakit.” Aku iba melihat adik kecilku itu. “ Iya sayang, ayo kita masuk, biar kakak obati.” Aku menggendong adikku, karna ia tidak mampu untuk berjalan.
Beberapa hari kemudian. Aku memegang kening Ilham. Ya Tuhan…badannya panas sekali. Badannya menggigil. Aku bergegas mengambil sapu tangan dan air untuk mengompres keningnya, berharap demamnya bisa turun. Aku mengambil obat penurun panas didalam kotak obat, dan memberikannya pada Ilham . Setelah beberapa jam kemudian, aku kembali memeriksa suhu tubuhnya. Demamnya belum turun juga. Aku berlari menuju kamarku dan mengambil handphone. “Halo yah, ayah dimana? Ilham sakit yah, ayah cepat pulang.”
“Apa dok.. amputasi!!” ayah terkejut mendengar perkataan dokter. “Iya pak, hanya itu jalan satu-satunya. Kaki Ilham harus diamputasi karna lukanya mengalami infeksi. Kami takut infeksinya akan menyebar. Silahkan bapak mendiskusikan terlebih dahulu dengan pihak keluarga yang lainnya. Saya harap bapak mengambil keputusan yang cepat.” “ Baik dok.” Jawab ayah. Aku melihat ayah keluar dari ruangan dokter. Aku menghampirinya, terlihat wajah ayah sangat lesu, wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca.“Apa kata dokter yah? Ilham baik-baik aja kan? Kenapa wajah ayah sedih?” Tanyaku dengan perasaan khawatir. Ayah terdiam sejenak dan menatapku. “ Kaki Ilham harus diamputasi Fauza. Lukanya infeksi, hanya itu satu-satunya jalan agar dia selamat.” Jawab ayah lirih. Mendengar berita dari ayah, hatiku seperti teriris, tubuhku serasa tidak bertenaga, aku merasa lemas. Tidak dapat aku menahan air mata, dan seketika aku menangis. Ya Tuhan…apakah ini adalah jalan satu-satunya yang Engkau takdirkan. Tidakkah Engkau merasa iba tehadap anak sekecil Ilham , yang harus kehilangan salah satu anggota tubunya. Dia masih terlalu kecil untuk menerima semua ini Tuhan…Seandainya bisa, aku rela menukar posisinya saat ini. Aku sangat menyayangi adikku. Aku sangat menyayanginya.
“Yah…Ilham janji tidak akan nakal lagi. Ilham janji tidak akan mencoret barang-barang ayah lagi. Ilham akan membersihkan semuanya yah. Ayah…Ilham ingin kaki Ilham kembali. Kembalikan kaki Ilham yah.” Teriak Ilham sambil menatap ayahnya yang berdiri disampingnya, sementara itu ayah hanya diam membisu . “ Maafkan Ilham yah, Ilham selalu membuat ayah marah, Ilham terlalu nakal, Ilham tidak akan menulis kata-kata itu lagi ayah!!” Ayah hanya diam terpaku, tampak diwajahnya ada penyesalan. Ayahku menangis, dan memeluk adik kecilku yang malang. Aku dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh adikku saat ini. Pastinya tidak mudah untuk menerima takdir yang menurutku itu adalah sesuatu yang tidak pantas diterima oleh anak sekecil Ilham. “Ayah….kembalikan kaki Ilham.” Tangisan adikku dipelukan ayah.
Ayah menyuruhku untuk mengambil barang-barang keperluan Ilham selama ia masih dirawat dirumah sakit. Ayah juga menyuruhku untuk mengambil selimut kesayangan Ilham, yang merupakan pemberian dari almarhumah ibu. Segera aku mengemasi seluruh barang keperluan Ilham. Aku membuka lemari dimana Ilham sering menyimpan selimut kesayangnya itu, Saat aku membukanya, aku melihat buku kecil berwarna merah. Ilham selalu menulis sesuatu dibuku itu. Kira-kira apa yang dia tulis. Aku membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Lembaran pertama dipenuhi dengan gambar-gambar yang sama sekali bentuknya tidak jelas. Lembaran kedua juga dipenuhi dengan gambar, tapi kali ini ia menggambar seorang laki-laki memakai jas dan disampingnya seorang anak kecil yang merangkul tangan laki-laki tersebut. “Ah..ini pasti ayah dan Ilham.” Pikirku dalam hati. Saat aku membuka lembaran ketiga. Aku melihat sebuah tulisan. Tulisan yang tidak begitu rapi, tulisan dari anak keil yang baru belajar menulis.
“Kata ibu guru kalau kita mengatakan sayang kepada seseorang, pasti kita akan mendapatkan ciuman darinya. Tapi kenapa ya, ayah tidak pernah mencium Ilham?”
Aku tersenyum kecil saat membaca tulisan tersebut. Segera aku membuka lembaran selanjutnya.
“Semenjak ibu tiada, perhatian ayah mulai berkurang. Ayah sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi aku tetap menyayangi ayah.”
Lembaran ke 5:
“Aku bangga kepada ayah, meskipun selalu sibuk, ayah selalu menyempatkan diri untuk menjemputku disekolah. Aku sangat mengidolakan ayah. Ayah adalah segalanya untukku.“
Dan lembaran terakhir…
“ Kenapa ayah selalu marah kalau Ilham menulis kata BISA . Ilham ingin ayah menanyakan apa arti dari kata itu. Padahal teka teki itu sangat menyenangkan. BISA (Betapa Ilham Sayang Ayah).
Aku terkejut, aku tak menyangka adikku bisa menulis hal seperti itu. Dugaanku selama ini salah, aku menganggap adikku tidak secerdas teman-teman lainya. Aku menganggap dia tidak memiliki kemampuan lain selain menulis kalimat itu. Aku menangis, aku menyesal terhadap diriku sendiri. Aku merasa tidak bisa menjaga Ilham dengan baik. Dulu aku sudah berjanji pada ibu, untuk menggantikan posisinya untuk menjaga Ilham. Tapi apa yang terjadi saat ini? Hanya penyesalan yang aku rasakan. “Maafkan Fauza bu,telah membuat ibu kecewa, Fauza tidak bisa menjaganya. Maafkan kakak Ilham.”
Aku menyerahkan buku kecil itu kepada ayah. Ayah membacanya dengan seksama. Aku melihat mata ayah berkaca-kaca. Berulang kali ayah membacanya. “Ilham…maafkan ayah nak.” Ucap ayahku lirih. “Ayah tidak menyangka kamu begitu sangat mencintai ayah, kenapa kamu tidak bilang ke ayah, kenapa kamu hanya diam saja saat ayah memarahimu, kamu tidak menjelaskan semuanya pada ayah.Seandainya ayah tahu semuanya, pasti ayah tidak akan memukulmu. Dan tidak akan berakhir seperti ini nak.” Ayah mencium kening Ilham . Tangisan ayahpun pecah, dan mendekap tubuh adik kecilku itu.
Setelah kejadian itu, sikap ayah mulai berubah. Ayah begitu perhatian dan selalu meluangkan waktunya hanya untuk sekedar bercengkrama bersama aku dan Ilham. Terlihat ayah begitu sangat menyayangi adikku. Yah,,, tulisan dari seorang anak kecil itu mampu membawa perubahan didalam kehidupan keluargaku. ‘BISA’ (Betapa Ilham Sayang Ayah).